Aku berjalan lunglai
memasuki ruangan yang dingin itu. Melihat mata Donny yang sayu masih
terbelalak, bibirnya yang kering menyunggingkan senyum ke arahku, mungkin dia merasa asing, orang yang baru dikenalnya sampai seperti orang gila saat mengkhawatirkannya.
Aku menatapnya, belum sempat membalas senyumnya.Sedetik kemudian senyumnya sirna .
EKG (elektro kardio grafi) yang naik turun itu kini begerak mendatar. Bunyi itu merambat pelan ke gendang telingaku
‘Tuuuuuuuuuuuut’
Kain putih menutupi sebagian tubuhnya. Dokter itu menghampiriku, dan berkata
“ Itu senyum terakhirnya untukmu”.
Aku hanya tediam,
air bening itu masih mengalir deras dipipiku. Aku meremas kepalan
tanganku untuk yang kesekian kalinya dan melihat ke bawah.
Aku bergumam pelan “Ma, bangunin aku Ma, aku ga suka mimpi buruk kaya gini,..”.
Lalu suaraku naik 2 oktaf di atas suara normalku “Maa… Mama denger aku kaan” aku terisak berteriak histeris.
Aku tidak bisa menahannnya lagi. Telapak kakiku yang masih berpijak di atas dinginnya lantai marmer rumah sakit, kini ambruk.
Bukan hanya tak kuat
menahan beban tubuhku yang lemas, tapi beban di hatiku sepertinya sudah
merambat ke seluruh tubuhku. Membuat kakiku semakin tidak kuat
menahannya. Aku ambruk.
*****
Remang-remang. Aku memcoba membuka mataku. Sebelah telapak tanganku memegang kepala. Rasanya baru saja kepalaku terhantam sebuah meteor yang jatuh dari langit. Aku menatap ke sekeliling. Kosong, hanya bau antibiotik yang menyengat di indra penciumanku.
Aku
terdiam , mencoba mengingat kejadian yang aku alami tadi, sedetik
kemudian amarah ku memuncak. Aku tidak menangis, tidak ingin menangis.
Aku marah, sangat marah !
Kenapa Donny meninggalkan aku secepat ini !
“Aaaah! Donny!! Kamu masih disinikan! Jawab aku doooon!!” aku berteriak lirih lalu beranjak dari kasur empuk di bawah tubuhku.
Aku melihat sebuat jarum infus menancap dipergelangan tanganku. Aku bersiap mencabut infus tak berguna itu.
‘Treeeeet’ bunyi pintu ruang rawatku dibuka.
Sesosok
laki-laki bertubuh tegap, begitu hangat , sesosok yang sudah sangat aku
kenali, sosok yang paling aku rindukan.Aku menatap lurus ke arah
bayanganya di lantai marmer mengkilap itu.
“Rioo?”
Dia tersenyum tipis. Dia tau aku pasti sangat hancur menjelang kepergian Donny.
”Jangan lepas jarum infus itu, sekarang istirahatlah, kamu masih terlalu lelah” ucapnya lirih.
Lagi-lagi air mataku mengalir. Rio memelukku, pelukannya agak dingin, tidak sehangat pelukkannya dulu.
Ada yang
berbeda. Bukan Rio yang dulu lagi, tapi pelukannya bisa membantu
menghangantkanku seperti biasa, hanya saja tidak seampuh yang dulu. Ini
bukan sebuah masalah kecil yang bisa aku lupakan hanya dengan sebuah
pelukan. Aku butuh waktu, waktu yang sangat lama.
******
Aku
menggosok telapak tangan ku yang sudah sedingin es. Kain hitam tebal
yang melekat di tubuhku tidak cukup membuatku hangat, aku menengok ke
atas. Padahal matahari begitu terik, payung hitam pun berjajar
mengelilingi tanah merah yang masih basah itu.
Pemakaman
Donny, aku hanya mengatupkan bibirku. Tidak sepatah katapun keluar dari
bibirku. Aku tak peduli dengan isak tangis yang membahana. Aku tidak
ingin menangis. Air mataku tak cukup untuk membuat Donny kembali lagi di
sisiku.
“Lo
pasti bisa Cha” itu yang dikatakan Bella, Azka dan Ari. Rio tak
berkomentar apapun. Bukan hanya aku yang kehilangan, semua kehilangan
Donny.
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk, mendapati ada seorang perempuan di sebrang sana. Menyendiri. Kelihatannya sebaya
denganku , berambut pendek dan berparas manis. Seperti melihat
Donny,mereka begitu mirip. Matanya, tatapannya begitu hangat seperti
Donny. Aku menatapnya tajam. Ia tidak berbusana hitam, tapi.. putih??
Aku melirik ke arah Rio, melihat tatapnya bertemu dengan perempuan itu.
Shabrina.
Itu namanya, adik Donny yang baru pulang ke Indonesia. Dia satu-satunya
yang tidak menangis selain aku. Tapi aku tau, dia hanya menahan
tangisnya, mencoba tidak memperburuk keadaan.
Ada yang
berbeda di tatapan Rio. Tatapan yang dulu milikku. Kini terbagi dua.
Aku tau, sepertinya Rio mulai menyukai Shabrina, tapi entah kenapa aku
merasa Shabrina akan mengambil Rio dariku. Aku berusaha mengabaikannya fikiran konyol itu, tapi sulit.
Kenapa
ini? Seharusnya tak begini. Sekali lagi aku mengabaikannya, mencoba
berkonsenterasi pada lantunan doa yang mengalir untuk Donny. Ya, Donny.
Selamat jalan Donny, aku menyayangimu. Gumamku sambil tersenyum kecut.
*****
3 bulan berlalu, aku bisa melewati hariku dengan baik walaupun tidak
seperti biasanya, aku menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Mencoba
beradaptasi dengan keadaan. Aku kira akan sangat lama untuk aku bisa
beradaptasi, ternyata tidak, terlalu sedikit kenangan yang aku buat
dengan Donny dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga membuatku
lebih mudah menghapusnya dari ingatanku. Ini tidak semudah apa yang aku
ungkapkan. Ini mudah yang membutuhkan banyak pengorbanan.
Sekarang
Rio yang selalu ada untukku walaupun tidak seperti dulu. Aku belum siap
untuk kehilangan yang satu ini. Aku mulai terbiasa dengan dia yang
selalu ada di sisiku, mulai terbiasa dengan dia yang selalu membuat aku
merasa nyaman, dan mulai terbiasa dengan dia yang selalu menerima
keegoisanku. Aku mendesah pelan.
Aku
tidak mau ada yang berbeda dari perasaan kami, aku hanya ingin seperti
ini, keakraban kami tidak akan berubah menjadi suatu hubungan yang lebih
dekat ataupun renggang. Tapi cepat atau lambat Shabrina akan membuat
Rio menjadi berbeda. Rio yang bukan lagi disisiku. Tapi disisi
Shabrina. Cewek tomboy itu memang menarik, bertolak belakang denganku
tapi sanggup meluluhkan Rio dalam satu hentakan.
*****
Aku
berjalan perlahan, menitiki setiap langkah yang aku lewati. Menuju
pemakaman Donny. Seminggu sekali di hari Sabtu adalah hariku dan Donny.
Aku akan datang ke makam nya di pukul 3 sore, tak peduli walaupun langit
sedang hujan. Aku bercerita banyak hal pada Donny, aku menceritakan
semuanya. Bahkan tentang kecemburuanku pada Shabrina.
“Aduuh…..”
aku mendesah pelan dan memegang bibirku dengan telapak tangan. Tidak..
aku tidak menyukai Rio kan? Aku menunduk menatap bunga segar diatas
makam Donny dengan lirih. Lalu mengusap keramik makam yang berdebu itu.
*****
Pukul 7
malam dan aku belum tiba di rumah. Aku tau mama pasti akan sangat marah.
Aku melirik handphoneku, 7misscall dari mama, 16 dari Bellaku yang
super cerewet, 4 dari Azka dan 1 pesan singkat dari Rio. Aku tau mama
pasti menanyakanku pada semua orang sehingga semua orang sibuk
mencariku. Aku mengabaikan semua itu.
Aku
duduk di atas sebuah kursi taman yang sudah tua, merapatkan jaketku lalu
membuka pesan singkat dari Rio ‘Cepat pulang, semua mengkhawatirkanmu.
Jangan melakukan hal bodoh seperti ini’ . Aku tersenyum tipis, itulah
Rio.
“Hhh…” aku mendengar desahan pelan di sampingku. Secepat kilat aku menengok
“Shabrinaa?? Duh gue pikir hantu. Kok kamu ada disini?”
Dia tersenyum kecut dan berkata “ Cepat pulang, jangan bertingkah bodoh seperti ini”.
Kata-katanya
nyaris persis dengan yang diucapkan Rio. Korneaku menajam. Menatap nya
meminta penjelasan .Aku kira dia tidak mengerti, karena melihatnya hanya
terdiam. Lalu beberapa saat kemudian Shabrina mengangguk dan berkata
“ Aku
tak akan merebut Rio darimu Cha. Dia akan tetap menjadi sahabatmu,
Rio-mu. Walaupun kami saling menyukai, walaupun nantinya aku akan
bersama Rio. Tapi dia akan tetap ada buat kamu” Shabrina tersenyum
tipis.
Aku
menatapnya heran, tak percaya. Wajah tomboynya seolah berubah begitu
anggun saat dia berucap seperti tadi. Tiba-tiba aku tertawa renyah.
“Tidak apa-apa Shab. Kamu benar-benar mirip dengan kakakmu “ .
Sekarang
ini bukan hanya menjadi tentang Rio dan aku, tapi akan menjadi tentang
Rio, Shabrina dan aku. Tidak ada lagi tentang aku dan Donny, itu
hanyalah sebuah kenangan. Aku akan memulai, menghapus sedikit perasaan
yang tumbuh untuk Rio. Aku akan memulai berdiri tanpa Donny dan
menghapus keegoisanku pada Rio.
Aku tersenyum riang. Rio dan Shabrina, maka akupun akan ikut senang.
*****
2 tahun kemudian….
Aku menenteng tasku yang sebesar gajah bengkak. Aku berlari kecil keluar SMA . Dan lagi lagi…
BUKK!!
“ehh
maaf..” aku menatap wajah itu, seorang cowok tampan bertubuh tinggi dan
berhidung mancung. Aku tersenyum tipis dan memutar bola mata.
Sepertinya aku mengenal kejadian ini deh!
“hahha”
aku tertawa renyah, cowok ganteng ini akan aku kasih nama… Donny 2,
sebentar lagi akan ada Rio 2 di hidupku! Aku melangkah enteng, seperti
sudah tau bilik cerita selanjutnya. ‘ Aku akan lebih kuat dari
sebelumnya’ gumamku seraya tersenyum puas. Aku akan tetap menjadi
Chacha. Chacha yang dulu tapi lebih kuat dari sebelumnya .
-SELESAI-
EPILOG…
Kadang
kita tak harus memilih cinta, tapi cinta yang akan memilih kita. Ini
bukan bagaimana cara kita bisa melewati banyak masalah di hidup kita,
tapi bagaimana cara kita bertahan dan melewati suatu masalah dengan
baik. Cinta membuat kita bertahan, maka bertahanlah untuk cinta. Sekali
lagi, namaku Chacha, aku adalah seorang remaja muda berkembang yang
periang dan masih labil dalam menghadapi sesuatu yang bernama ‘CINTA’.