Bella menepuk bahuku, menyadarkan aku dari nostalgiaku yang menurutku agak konyol, aku tersenyum tipis dan mengedipkan mataku padanya. Dia mengerti. Bella selalu mengerti apa yang aku pikirkan. Dia tau sekarang aku sedang tidak ingin bercerita.
‘Tengteng teretengteng’
Bel pulang, harusnya aku bisa pulang ke rumah, mengurung diri di kamar, mendengarkan musik POP dengan volume paling tinggi
dan membuat kasurku jebol karena meloncat-loncat di atasnya. Aku tidak
peduli. Aku rasa mengabaikan dunia adalah salah satu cara menghilangkan
kata ‘galau dan mata sembab karena menangis’. Tapi hari ini bel pulang
sama dengan pelajaran tambahan.
Aku berjalan lunglai melewati gerbang sekolah-
menuju tempat bimbelku. Kali ini aku berjalan bersama Gina. Gina
memasang muka bingung dan ingin tau. Tapi aku mengabaikannya. Les
belum dimulai, seperti biasanya bu felia- asisten pak Jono yang
mengajar di tempat bimbel, selalu datang SUPER ngaret. Aku melempar tas
ku yang segede karung beras ke tempat dudukku. Kriuuk,kriiuk, wah perut
ku ga bisa di ajak kompromi.
“ Gin gue laper hehe “ Aku nyengir selebar mungkin menampil kan sederet gigiku yang sangat rapi.
Akhirnya aku dan Ginapun menuju sebuah rumah makan kecil di sebelah tempat bimbelku.
Akhirnya aku dan Ginapun menuju sebuah rumah makan kecil di sebelah tempat bimbelku.
Gina tersenyum girang melihat daftar menu yang super lecek itu.
“Soto baaaaaaaaaaaang “ Gina berteriak nyaring 2 oktaf di atas suara normalnya .
Aku mengelus dada. Duh gue kira alarm maling , gumamku.
“Ayam goreng deh bang” kataku dengan mata setengah melek.
Saat makan kaya gini aja , otak aku masih memikirkan yang namanya Donny.
“Heeey”
Tampak pantulan bayangan seorang perempuan yang sebaya denganku di kuah soto milik Gina. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Dea telah berdiri dibelakangku, tapi… siapa tuh?
Seorang cowo berkulit putih tampak cuek berdiri
memainkan handphonenya di sebelah Dea, mataku menyipit mencoba
menerka-nerka siapa manusia itu.
“Gabung yaa, kita ikut makan disini, oke”
Tanpa ba-bi-bu lagi Dea menyeret kursi ke arah meja kami begitu juga dengan cowok itu.
Cowok itu berhenti memainkan handphonenya. Dia
tertegun, wajah nya tenggelam di balik daftar menu, mataku tidak bisa
lepas dari cowok aneh itu. Dea yang super cerewet di padukan dengan gina
yang suaranya kaya alarm maling, bikin sakit gendang telinga.
“Iya uahahaha bener banget noh, iya uwakakaka…”
Dea dan Gina benar-benar heboh, entah apa yang
mereka bicarakan, cowok itu benar-benar tidak peduli, padahal aku saja
udah mau pingsan dengerin 2 orang itu bergosip ria.
Cowok itu sudah selesai memesan, aku membuka mulutku sedikit dan siap melontar kan beberapa pertanyaan tapi…
“Gue Rio, salam kenal”
Dia tiba tiba menjabat tanganku dan aku hanya bisa
mangap selebar mungkin. Rio menaikkan sebelah alisnya tampak heran. Aku
menutup mulutku dan baru saja aku mau memperkenalkan diri, dia memotong
“ Lo chacha kan ?”
Aku mengerenyitkan dahi. Ini orang anaknya Mama
Lauren gitu ya? Aku mengagguk dengan agak gugup. Ternyata Rio adalah
teman masa kecil Dea yang tinggal tak jauh dari tempat bimbelku. Selesai makan kami berpisah. Pertemuan tak di sengaja dan tak terduga dengan Rio.
****
Aku meloncat ke kasurku yang empuk, lalu menyalakan radio
“Jatuh bangun aku mengejarmu..”
Lagu lawas dangdut itu memecah keheningan. Apaan
sih ini, liriknya nyindir banget, gumamku sambil setengah menguap. Aku
mengganti saluran radio, lagu-lagu barat mengalun. Aku menghempaskan
tubuh ku ke tempat tidur dan menutupi wajahku dengan bantal. Memori
tentang Rio terhapus sudah.
Kini yang aku rasakan, Donny.Hanya ada Donny. Ku
benamkan wajahku lebih dalam mencoba menyembunyikan isak tangisku.
Hingga akhirnya aku terlelap. Terlalu lelah, lelah atas penantian yang
begitu panjang.
Beberapa jam kemudian aku terbangun, mataku masih
setengah terbuka. Aku melihat pantulan dari cermin . Mataku sembab,
bibirku kering, wajah berminyak dipadukan dengan rambut yang kusut.
Rasanya seperti baru keluar dari kurungan penjara bawah tanah selama
bertahun-tahun, hiperbola.
Tik tok tik tok jam dinding berdetik , aku menoleh
“Whaat, masih jam 2 pagi?” rasanya aku sudah tidur berabad-abad lamanya.
Tak berapa lama kemudian, aku tampak duduk di
balkon kamarku, menatap lurus ke depan. Menatap langit yang gelap, tanpa
bintang. Hitam dan terselubung jelaga. Ingatan tentang Donny kembali
menguncang. Lalu beralih menjadi ingatan ku tentang Rio, ya Rio. Aneh.
***
Aku tak menyadari, sejak malam itu. Kini aku dan
Rio jadi sering betemu. Dia tidak seaneh yang aku kira. Sekarang aku dan
Rio adalah sahabat, sama seperti aku dan Bella. Rio adalah sahabatku,
kakakku, orangtuaku, guruku, segalanya. Rio segalnya.
Rio ikut tersenyum saat aku bahagia, yang tertawa
renyah saat menjaili aku, yang mengelus pipiku saat aku pura-pura marah,
dan yang mendekap aku saat aku menangis pilu- menagisi Donny. Lagi-lagi
Donny, dia yang segalanya, membuat hatiku penat, memenuhi hatiku hingga
sesak. Begitu penat , hingga aku menangis
********
Aku mengotak-atik akun Yahoo Messengerku. Tanpa
sengaja tanganku tergerak untuk mengirim pesan singkat berupa chat untuk
Donny. Aku menekan tombol enter lalu terdiam untuk beberapa saat.
Satu.. duaa… tiga…
“HAH AKU NGIRIM APA TADI KE DONNY???”
Tadi itu benar-benar refleks. Aku merasa sangat tolol, aku tak mengenal Donny. Aku menatap layar handphoneku.
Cha_cha : heey.
‘tuuut’ aku terlonjak kaget, Donny membalas pesan singkatku ???
Donny.ramdhan : hey, kamu siapa ya?
Aku tertegun, mataku melotot, sedikit air bening
menyempil di ujung bulu mataku. Aku menganga selebar mungkin, aku takut
ini cuma mimpi. Tanpa pikir panjang aku membalas pesan singkat itu
hingga akhirnya kami berkenalan.
Setelah kejadian itu, Bella adalah orang pertama
yang mengetahui ini, dan selanjutnya Rio.Tapi aku tidak sebahagia yang
aku kira. Donny, Donny, bayang yang hampir pudar dari hatiku tanpa aku
sadari.
Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa, di sebelah
Rio. Rio sama sekali tidak berkutik saat mendengar ceritaku. Dia tidak
tersenyum, aku menatapnya heran, penuh tanda tanya.
“Rio! Kenapa sih? Lo sakit?” kataku sedikit mengguncang tubuhnya.
Dia terdiam, dan tiba-tiba dia memelukku, erat hingga dadaku terasa sesak.
“Ri, Rio lo kenapa?”
Dia tidak menjawab , hanya mempererat pelukannya. Lama sekali dia memelukku, lalu berbisik di telingaku…
“Jangan pergi” ucap Rio
Setetes air bening mengalir hangat di pipiku. Apa Rio menyukaiku? Tapi kami sahabat, dan Donny…
Aku benar-benar tidak menyadari, semenjak aku kenal dengan Rio,
rasanya bayang Donny hampir memudar. Padahal ini sudah tahun ke dua aku
begitu menyayanginya. Aku takut, begitu takut bayang Rio mengahapus
bayang Donny yang memenuhi hatiku.
*Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar